Pernahkah kamu merasa sangat takut kehilangan sesuatu yang paling kamu cintai, entah itu karir, pasangan, atau impian yang sudah kamu bangun bertahun-tahun? Ketauhidan Nabi Ibrahim bukan sekadar kisah sejarah tentang penyembelihan kurban, melainkan sebuah manifestasi cinta tertinggi yang mengajarkan kita cara melepaskan keterikatan duniawi demi meraih kedamaian jiwa yang hakiki.
Bagi banyak dari kita, melepaskan adalah hal yang paling menakutkan. Namun, dari perjalanan Sang Khalilullah (Kekasih Allah), kita belajar bahwa saat kita berani meletakkan Allah di atas segalanya, Dia tidak akan membiarkan kita kehilangan; Dia justru akan menggantinya dengan sesuatu yang jauh lebih mulia. Mari kita mengobrol santai sejenak, mendinginkan hati melalui hikmah ketauhidan yang sangat mendalam ini.
Mengenal Hakikat Ketauhidan Nabi Ibrahim dalam Kurban
Dalam Islam, kurban seringkali diasosiasikan dengan penyembelihan hewan ternak. Tapi, kalau kita menyelami lebih dalam, esensinya adalah tentang “menyembelih” keterikatan hati selain kepada Allah. Inilah puncak dari Ketauhidan Nabi Ibrahim. Beliau tidak mencintai Ismail melebihi cintanya kepada Sang Pencipta.
Allah SWT mengabadikan momen luar biasa ini dalam Al-Qur’an:
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.'” (QS. As-Saffat: 102).
Ayat ini bukan tentang kekejaman, melainkan tentang penyerahan total. Ibrahim menyerahkan apa yang paling berharga baginya, dan Ismail menyerahkan nyawanya. Keduanya berada dalam satu frekuensi ketauhidan yang sama: Allah adalah segalanya.
Mengapa Kisah Ini Bisa Menjadi Self-Healing Bagi Kita?
Seringkali, sumber kecemasan (anxiety) kita berasal dari rasa ingin memiliki yang terlalu kuat. Kita merasa menderita karena kita merasa “memiliki” harta, jabatan, atau orang lain secara mutlak. Saat sesuatu itu pergi, kita hancur.
Ketauhidan yang diajarkan Nabi Ibrahim adalah “obat” bagi jiwa yang lelah karena:
- Menyadari bahwa kita tidak benar-benar memiliki apa pun: Semuanya adalah titipan.
- Mengalihkan pusat kebahagiaan: Jika Allah adalah pusatnya, maka kehilangan duniawi tidak akan membuat kita kehilangan diri sendiri.
- Menghadirkan rasa aman: Kita percaya bahwa “Pemilik” sebenarnya dari apa yang kita cintai sedang menjaga titipan tersebut dengan cara yang lebih baik.
3 Bukti Ketauhidan Nabi Ibrahim yang Bisa Kita Teladani Hari Ini
Bagaimana cara kita mempraktikkan Ketauhidan Nabi Ibrahim di zaman modern seperti sekarang? Berikut adalah beberapa poin yang bisa kita resapi bersama:
1. Menjadikan Allah sebagai Prioritas Utama
Dalam hidup, kita sering dihadapkan pada pilihan sulit. Antara mengejar target dunia namun melupakan ibadah, atau mendahulukan panggilan Allah. Ibrahim mengajarkan bahwa saat Allah diprioritaskan, urusan lain justru akan menemukan keteraturannya.
2. Mempraktikkan “Sami’na wa Atho’na” (Kami Dengar dan Kami Taat)
Terkadang logika kita tidak mampu menjangkau hikmah di balik perintah Allah. Nabi Ibrahim tidak banyak bertanya “Kenapa?” saat diperintah menyembelih Ismail. Beliau yakin bahwa perintah Allah pasti mengandung kebaikan, meski terlihat pedih di mata manusia. Ketenangan hadir saat kita berhenti mendebat takdir dan mulai menerimanya dengan lapang dada.
3. Menyembelih “Ismail” dalam Hidup Kita
”Ismail” bagi kita mungkin adalah rasa ego, kecintaan pada pujian manusia, atau ketergantungan pada harta. Meneladani ketauhidan beliau berarti kita berani mengurbankan kesenangan sesaat demi keridaan Allah.
Rasulullah SAW bersabda mengenai keutamaan kurban yang didasari ketakwaan:
“Tidak ada suatu amalan yang dikerjakan anak Adam pada hari raya Idul Adha yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan kurban… Sesungguhnya darahnya mencapai suatu tempat di sisi Allah sebelum jatuh ke tanah, maka hiasilah dirimu dengan kurban itu.” (HR. Tirmidzi).
Membangun Karakter Muslim yang Tangguh melalui Tauhid
Tauhid bukan hanya konsep teologis, melainkan pondasi mental. Seseorang yang memiliki Ketauhidan Nabi Ibrahim akan memiliki karakter yang tenang namun tangguh. Ia tidak akan mudah depresi saat gagal, dan tidak akan jumawa saat sukses.
Setiap tetes darah hewan kurban yang kita alirkan di hari Idul Adha seharusnya menjadi pengingat: “Ya Allah, aku menyembelih egoku, aku menyembelih rasa sombongku, dan aku menyerahkan seluruh hatiku hanya untuk-Mu.”
Allah berfirman:
“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan kamulah yang dapat mencapainya…” (QS. Al-Hajj: 37).
Kesimpulan: Kedamaian Hadir Melalui Penyerahan Diri
Meneladani Ketauhidan Nabi Ibrahim adalah perjalanan panjang untuk belajar mencintai Allah dengan cara yang benar. Saat kita berani melepaskan “Ismail-Ismail” kecil dalam hidup kita, di situlah Allah akan menghadirkan “Domba Pengganti” berupa ketenangan, keberkahan, dan rezeki yang tidak disangka-sangka.
Kurban adalah tentang cinta. Dan cinta tertinggi adalah saat kita mampu berkata: “Inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi Rabbil ‘alamin” (Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam).
Sahabat, apakah kamu merasa sudah siap untuk mulai belajar melepaskan keterikatan duniawi dan meraih kedamaian yang lebih dalam? Perjalanan spiritual ini memang tidak mudah, namun setiap langkah kecil menuju-Nya akan selalu Allah hargai.
Ingin memperdalam wawasan keislaman lainnya yang menenangkan hati, panduan ibadah harian, hingga informasi menarik seputar persiapan umroh dan haji? Yuk, kunjungi terus website umroh.co.
Di sana, kamu akan menemukan ratusan artikel inspiratif yang dikemas secara ringan namun berbobot untuk menemani perjalanan hijrahmu menjadi lebih bermakna. Sampai jumpa di artikel berikutnya dan tetaplah semangat dalam menuntut ilmu!
Yuk, klik umroh.co sekarang dan temukan kedamaian spiritualmu setiap hari!




